Saat-Saat Terindah Seorang Musafir yang Hanya Staf Biasa

27 February 2007

Water Falling In Drops

Ada debar yang sama
tiap kali hujan membasuh bumi
getar yang memompa darah, lebih!
memacu detak jantung
menjadi resah dan gelisah
yang menjarah di daging

Wangi petrichor*
bagai terapi yang memabukkan
lalu bagai terserang Alzheimer
darahpun luruh

*minyak yang diproduksi oleh tumbuhan, kemudian diserap oleh bebatuan dan tanah, dan kemudian dilepas ke udara pada saat hujan.

Labels:

posted by Dedi Wahyudi at 7:37 PM 0 comments

12 February 2007

Kulukis Bunda

This poetry I dedicated for my mother
I love you so much… mom


kulukis bunda pada seraut senja
wajahnya renta
kadang bunda terluka, karena kata
pernah dia menangis,
sungguh teriris hati ini
bunda menyembuhkan luka
sebelum aku menyadari

aku tahu bunda
hatimu sebening kaca ratu Cinderella
jiwamu sehalus permainan kecapi Maya
dirimu secantik permaisuri malaikat di surga
lisanmu semetafora langit kala senja

bunda selalu bangga
anaknya adalah yang terbaik dari segala
aku juga tahu…
aku tak akan pernah merasa cukup (ahh…)
untuk membalas cintamu bunda

Because there are more important thing in this world than what I want or what I love…

Labels:

posted by Dedi Wahyudi at 12:43 PM 0 comments

09 February 2007

Cinta yang Sederhana

tak banyak yang kusisakan untuk hidup
seonggok nyawa yang belum berkafan
serintik tangis, itupun kadang

tak banyak yang kurindu dalam hidup
bulan, matahari, bintang-bintang
cukuplah itu dalam kenangan

tak banyak yang kueja dari hidup
hati yang selalu tidak sama dengan ucapan
selebihnya? kematian yang dekat menghujam

tak banyak yang akan kulakukan
memberimu cinta yang sederhana
memberi cinta yang tidak sama

kemudian…
tak banyak yang kusisakan untukmu
kata yang tidak selalu ada
mata yang tak sanggup memandang

eh! cintaku memang sederhana
mungkin aurumku lari terbirit
atau mati sempit sendiri

Labels:

posted by Dedi Wahyudi at 9:42 AM 0 comments

01 February 2007

Kuburan, adalah tempat terbaik kau merenungi hidup

Bisa dikatakan setiap hari, seperti biasa ketika saya hampir tiba ditempat kerja, saya sering melewati pekuburan warga. Bukannya tempat kerja saya ditengah hutan atau jauh dari rumah penduduk, tapi saya bekerja disebuah pulau kecil dan dikarenakan penduduk Indonesia yang kian hari kian bertambah dan lahan yang tersedia disini tidak banyak, maka terpaksalah sebagian warga membangun rumah disekitar pekuburan.

Hari ini, tidak seperti biasanya, ketika melewati pekuburan, saya tertarik untuk melihat kuburan yang sering saya acuhkan itu. Saya perhatikan, sebagian besar kuburan disini tidak terawat dengan baik, banyak tumbuhan yang entah apa namanya tumbuh ditempat peristirahatan yang semestinya ditaburi bunga itu. Berlama-lama saya perhatikan kuburan, dan pandangan saya tertuju pada sebuah nisan yang tingginya tidak lebih dari sepinggang anak-anak.

Saya baca nama yang tertulis dinisan tersebut, tidak menarik, hanya nama sederhana orang-orang kampung zaman dahulu. Saya baca tanggal yang tertulis dibawahnya, yah! Pasti itu adalah tanggal lahir pemilik kuburan ini. Saya baca juga tanggal yang ada dibawah tanggal, Wah! usia penghuni kuburan ini lama juga ya!, kemudian saya menoleh kekuburan yang berada disampingnya, saya tertegun. Kuburan yang saya perhatikan ini memiliki tetangga yang masih anak-anak.

Cukup lama lagi saya tertegun, dan ketika tersadar, hal pertama yang saya lihat adalah garis lurus yang berada diantara dua tanggal yang terdapat dinisan, garis yang biasanya disebut strip, garis yang jika dibaca, sampai atau hingga.

Ya! Garis itu menandakan berapa lama manusia tersebut telah hidup didunia, apakah dengan umur yang telah diberikan Tuhan itu ia pergunakan dengan benar, apa saja yang telah ia lakukan semasa hidupnya, apakah usianya telah ia gunakan dengan sebaik-baiknya, apakah dihidupnya ia telah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan sekitarnya.

Saya jadi teringat sebuah puisi yang ditugaskan guru Bahasa semasa smp untuk dicarikan artinya, puisi empat baris yang biasanya disebut kuatrain, puisi itu berjudul nisan dan begini nih, bunyinya (Kalo bisa bacanya dikuburan, pas tengah malam jum'at, oc ^_^):

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaan menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta


Puisi yang mesti saya carikan arti yang terkandung didalamnya adalah puisi coretan Chairil Anwar, puisi yang diciptakan oleh Chairil pada saat usianya masih berumur 22 tahun. Pada saat itu nenaknya yang amat ia cintai meninggal dunia, ia begitu sedih. Tapi ia tetap kuat, ia beranggapan bahwa kesedihan hanya boleh ada sebatas tingginya sebuah nisan, tidak lebih. Dan ia berhasil melakukannya.

Bagaimana selanjutnya kita memandang hidup? Apakah kita akan meninggalkan sedikit-demi-sedikit hal yang tidak berguna dan sia-sia didalam hidup kita. Apakah setiap langkah kita adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan pada kita dan kita akan mengisinya dengan selalu berbuat hal yang bermanfaat bagi sesama. Dan apakah kita bisa mempelajari bagaimana seorang Chairil Anwar mengatasi kesedihan, cobaan dan rintangan yang menghadang dihadapan kita. Tentu jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

La Tahzan, innAllahama"ana

Labels:

posted by Dedi Wahyudi at 8:55 PM 0 comments